Total Pageviews

Wednesday, May 20, 2009

Angels and Demons

I saw Angels and Demons the movie today. A very good movie, just like the book. The movie director could capture the tension and thrill in the plot that made my adreline rushed. Salute!

The movie gave me a deeper meaning than the book (not that the book doesn't convey any meaning, but more like me not having the mind and knowledge to grasp it then). I was just a high school student with little spiritual knowledge when I read the book. Today I stand tall with a little more spiritual knowledge, so it was easier for me to grasp the message Dan Brown was trying to convey. from the book and now through the movie A line in the movie had a profound meaning, a line that hit me hard. It was spoken by the new carmalengo. "Religion is flawed, because men are flawed". How true! I'm not saying that the religion itself is bad. Of course not. Religion is good, it's meant to bring us closer to God. But the people in it, the institutionalization of religion is what makes it flawed. Believers, followers, are not encouraged to get to know God and to really know the essence. Instead, we are encouraged to perform such rituals, and by time, we will find ourselves just doing meaningless routine over and over again.

That line lead my mind to ask "if religion is flawed, then where do we turn to to get to know the essence of us all?" My beautiful boyfriend then answered "to life, to nature, to our surrounding, to ourselves, through observing and listening". Yes, that's right. Truth is out there, as well as inside of us. We just need to exercise ourselves to be more sensitive, and in touch with our inner self to be able to grasp God's messages. The truth. And because men are flawed, let God guide us to find truth.

There is another interesting message Dan Brown conveyed in the story. I didn't quite catch it, but my boyfriend did. Earth, air, fire, and water. These are the four elements we often hear. We always think that these elements are literally earth, air, fire, and wind. My boyfriend had a different insight. He said that that's not the case. The movie was trying to tell us that these four elements can also be thought as symbols. Symbols that lie within us. Earth is the symbol of what we do with our body, what we make of it. Air is the symbol of emotion. Fire is the symbol of . And water is the symbol of our mind, our thoughts. Now, these four elements are tied together with the fifth element. The movie went on about how there's a fifth element. And my boyfriend says that it is spirit. So, all the four elements are tied together with spirit. The drive that keeps us moving. Spirit symbolizes our actions. So, we can conclude that all the four elements manifest in the fifth, our actions. I was very surprised and awed with this view, but it made perfect sense to me.

But there's another important message Dan Brown is trying to convey. Angels and demons lie in all of us. We have the potential to be either one of them. It depends on which one we feed most. If we feed the angel in us, then our mind, emotion, and our drive will be angel-like, and in the end we will act with love. Our actions are full of love. But then again, a person with so much goodness in him/her can not be 100% fully angel-like. Because we are just human, flawed, and have the potential to be demon-like. There is always a possibility that the demon takes over, even for a short period of time. The same goes for people who we judge as evil. They may also have some goodness in him/herself. This is a gift from God. We should be grateful. There is always hope, for people can change. Don't rush to judge other people with a certain label, because they have the potential to be either one of them. And most importantly don't judge ourselves with a certain (negative) label, for we can change ourselves. We have a mind to decide which of the two we will cultivate most.

Thursday, January 15, 2009

Kesel

Hari ini adalah hari yang cukup banyak memberiku pelajaran dan menggugah rasa keprihatinanku. Pertama pelajaran tentang betapa sebagian besar orang tua di Indonesia itu belum bisa mendidik anaknya, sehingga anaknya berperilaku aneh-aneh ngga keruan. Pelajarang kedua tentang betapa agen distribusi produk (baca: swalayan) atau beberapa usaha yang menawarkan jasa di Indonesia itu salah kaprah.

Balik ke pelajaran pertama tentang orang tua yang belum bisa mendidik anaknya. Aku tercengang dan sekaligus sakit hati ketika pulang dari jalan-jalan mamaku mendudukkanku di ruang tengah. Ternyata mamaku udah duduk di situ nyidang adek sepupu yang beberapa bulan belakang tinggal sama kita. Adek sepupuku itu ibarat orang yang tersesat dan ngga tau gimana caranya balik pulang. Dengan kata lain perilakunya menunjukkan adanya tanda-tanda junevile deliquency. Contohnya dia suka boong, suka bolos sekolah, kebut-kebutan, dll. Beberapa kali dia uda bikin kasus yang bikin hati panas, karena mamaku dengan gigihnya memamerkan suara indahnya. Kasus hari ini ternyata cukup parah: mama di sms guru dari sekolah sepupu, nanyain kenapa dia ga masuk sekolah kemarin. Mama yang ngga tau alasannya kenapa, langsung ga mood. Setelah diusut dan diurai, ternyata adekku itu bolos sekolah karena dia takut rambutnya dipotong sama guru. Dia berniat untuk memanjangkan rambutnya untuk dilurusin, biar tampak keren pas pensi sekolah. Alasan yang membuat kami semua kaget ngga percaya karena di kamus keluarga kami hal2 seperti itu ga terdaftar.

Berasal dari latar belakang psikologi, aku jadi tertarik untuk menggali lebih dalam kenapa perilakunya itu ga berubah-berubah. Aku pengen tahu perlakuan orang tuanya ke dia. Aku bertanya tentang cara orang tuanya merespons kenakalan-kenakalan yang pernah dilakukannya. Ternyata orang tuanya menanggapinya dengan cara yang halus, sehingga terkesan kurang menegaskan value benar-salah. Alhasil anak jadi ngga paham kalau dia melakukan kesalahan, karena ketika dia melakukannya, dia ngga diberi punishment yang tegas. Ngga di kasih tahu kalo itu adalah salah. So, dia jadi mikir, mau aku kayak apa aja, toh orang tuaku ngga akan marah. Pantes aja anaknya jadi ga terkendali gitu. Dalam kasus adek sepupuku itu, bisa dibilang pola asuh orang tuanya yang kurang menegaskan value benar-salah adalah kunci dari segala permasalahan yang sekarang terjadi.

Kasus di atas hanya salah satu dari banyaknya kesalahan cara didik orang tua. Ada kasus lain yang membuatku sama panasnya, mungkin lebih panas, sampe bingung pengen neriakin orangnya atau nangis. Jadi waktu itu aku lagi makan malam sama keluarga di salah satu restoran terkemuka seantero bumi. Pas lagi enak-enaknya makan, ada suara gelas kesenggol dan airnya tumpah. Ternyata suara itu berasal dari meja di belakang kami. Ada sekeluarga gitu. Anaknya ngga sengaja nyenggol gelas. Eh yang bikin heboh, bapaknya tanpa malu-malu marahin anaknya, ngata-ngatain anaknya, walaupun tempat duduknya dipojok, tpai suaranya tetep kedengeran dari radius 3-5 meter. Yang bikin kesel lagi, ibunya bukannya "melerai", tapi cuma ndomblong liatin bapaknya aja tanpa berkata sepatah kata pun. Aku kasian banget sama anaknya, dia juga cuma liatin bapaknya dengan wajah setengah senyum yang tanpa dosa. Aku nangis di situ juga. Kasian banget anaknya. Dia memang melakukan kesalahan, tapi kesalahan itu segitu kecilnya jika dibandingkan dengan kemarahan bapaknya. Ngga fair dan ngga proporsional aja.

Kasih sayang dan kelembutan itu wajib ditunjukkan ke anak kita. Walaupun aku belum punya anak, tapi aku tahu kedua hal itu adalah keharusan. Tapi kadang kita juga harus tegas, terlebih ketika anak kita melakukan kesalahan. Dan ketika kita harus bertindak dan bersikap tegas, kita juga ngga harus meledak-ledak atau meninggikan suara. Cukup membuat suara dan ekspresi kita menjadi serius, kurasa anak pun uda tahu perasaan kita terhadap perilakunya. Dan yang paling penting, beri anak pengertian bahwa itu adalah perilaku yang salah, mengapa itu salah, dan dampak dari perilaku itu. Sebenernya ngga perlu merambah-merambah ke ranah personal yang mengesankan kita menghakimi anak. Aku akui itu memang susah banget, hanya marah pada konteks kesalahan orang itu tanpa kita keceplosan menghakimi dia. Tapi seperti kata salah seorang filsuf besar kita, entah Socrates ato Aristotles, kemarahan yang proporsional dan tepat sasaran itu susah banget. Tapi enggak mustahil. Kurasa apapun akan bisa dilakukan kalau kita niat.

Pelajaran kedua hari ini kudapat sewaktu membaca salah satu tabloid wanita. Di situ dibahas persoalan mengenai uang receh kembalian belanjaan yang diganti dengan permen. Sebenarnya persoalan yang kuperhatikan bukan disitu. Persoalan yang kuperhatikan adalah pengakuan seorang ibu yang mendapat perlakuan tidak mengenakkan ketika menolak diberi kembalian berupa permen. Sebagai gantinya ia meminta 50rp yang merupakan haknya. Kasir swalayan itu malah melayaninya dengan cemberut dan memberikan pandangan merendahkan. Ngga hanya itu, kasir itu juga "melempar" koin 50rp itu ke dalam tas belanjaan ibu itu. Aneh kan! Walaupun kita sebagai konsumen memang membutuhkan produk-produk yang dijual di swalayan, tapi kita ngga mati kalau swalayan itu ngga ada. Kita juga masih bisa ke swalayan lain. Pada waktu baca testimoni ibu itu, aku langsung teringat pada perlakuan pengusaha laundry di dekat rumah padaku. Waktu itu aku disuruh mama untuk memasukkan beberapa pakaian ke laundry. Waktu uda nyampe di tempat laundry, aku dilayani oleh seorang ibu-ibu yang kayaknya si yang punya laundry. Aku juga ngga langsung disamperin, karena ibunya lagi telfon. Jadi aku menunggulah beberapa waktu. Lumayan lama juga. Ternyata mungkin lawan bicara ibu itu belum ingin menutup pembicaraan, jadi aku dilayani sambil ibunya telfon-telfonnan. Walaupun posisinya aku memang lebih muda dari pada ibu tadi, tapi aku ini pelanggan. Pelanggan yang pantes diberi pelayanan yang sesuai.

Kesalah kaprahan pengusaha-pengusaha itu ada pada persepsi mereka yang menganggap pihak yang memerlukan jasa mereka adalah pelanggan. Padahal, kalo kita lebih jeli lagi, yang membutuhkan itu kan pengusahanya. Tapi kenapa pelanggan diperlakukan dengan seenaknya aja? Dulu aku pernah tinggal di Australia selama 5 tahun. Begitu pulang ke Indonesia aku shock bukan main ketika berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan. Shock karena para pelayan dan kasirnya bermuka senep ketika melayani. Dan yang mengucapkan terimakasih adalah aku, sebagai pelanggan. Bukan mereka. Paling engga kan mereka dulu yang bilang makasih. Beda dengan perilaku pelayan dan kasir di Australia. Walaupun mereka masih high school, namun mereka berhasil di training untuk bersikap manis kepada pelanggan. (untuk yang bagian kasir) mulai dari tersenyum, menyapa, sampai menanyakan kabar. Yang terakhir itu jarang banget ditemui di Indonesia. Di situ aku menemukan kontradiksi. Katanya Indonesia itu orangnya ramah-ramah. Tapi kok keramahan itu ngga tercermin pada perilaku sehari-harinya? Ato apakah keramahan itu hanya milik para bule yang lagi melancong ke Indonesia?